Terlalu Murah

Baiti Jannati, rumahku surgaku. Sudah 3 tahun 6 bulan aku menempati rumah ini. Rumah yang meski tua tetapi masih baik menurutku. Rumah 2 lantai berukuran 10 x 9 meter terbagi menjadi 3 ruang dilantai bawah dan 2 ruang dilantai atas. Tiga ruang lantai bawah paling depan ruang tamu, dibelakangnya dibatasi oleh sekat papan kayu adalah dapur dan kamar mandi serta space kosong kami fungsikan sebagai ruang kumpul-kumpul sekaligus nonton TV, satu ruang lagi adalah kamar Iwan. Dilantai atas, kamar dekat balkon depan ditempati oleh Aris juga Na'im adiknya. Yah aku pikir memang gak mungkin jauh-jauh kakak-beradik ini. Sementara aku berbagi kamar dengan Imron. Disamping kamar kami ada tangga menuju atap yang memang sejak awal tak bergenteng hanya cor-coran semen. Disitulah kami biasa menjemur pakaian. Bagian belakang rumah ada halaman kecil, berbatas pagar bambu yang sudah usang lepas sambungannya disana-sini. Pohon rambutan yang tumbuh di sudut halaman adalah tempat favorit kami. Pohon setinggi rumah itu kami beri ayunan dan kursi kayu sederhana. Tempat pengusir penat yang ampuh, sampai-sampai ada gurauan siapapun diantara kami yang terlihat duduk disitu dianggap sedang galau, sedang ada masalah. Asik sekali rumah ini. 1,5 juta harga sewa kami tanggung bersama, Aku, Na'im, Iwan, Aris, dan Imron. Terlalu murah untuk membayar kebersamaan ini pikirku.

"Im, tau book keeper punya mas?".
"Na'im gak tau mas coba cari di bawah, disamping TV! Terakhir kan mas taruh situ", jawab Na'im dari balik kamar mandi.
"Hayooo... hati-hati hilang lho ris hehe", sahutku.
"Gak masalah sih sebenarnya, kan tinggal print lagi haha", jawaban simpel Aris. "Mau revisi lagi nih, siapa tau dosbing sedang berbaik hati, ya gak?"

Semua senasib sepenanggungan semester 8 kecuali adiknya Aris si Na'im yang masih semester 5.  Masing-masing fokus dengan skripsinya, tugas akhir aku dan kawan-kawan Teknik Elektro menyebutnya. Iwan mengambil Hubungan Internasional, dibuat iri aku denganya, sudah revisi BAB 4. Sementara Aris dan Imron semangat sekali saling mengalahkan, pada dasarnya mereka memang satu fakultas, fakultas Hukum. Masing-masing baru BAB 3, sempat dengar percakapan mereka ternyata mereka membuat perlombaan siapa kalah dia yang traktir bakso Pak Man sepuasnya selama 3 hari. Jangan salah bakso Pak Man itu bakso terenak di komplek sini.

"Dimana ya book keeperku?", Aris tampak masih kebingungan mencari.
"Hehe, sudahlah Ris, anggap aja hilang tinggal ngeprint lagi. Besok maju lagi. Selow aja sih", bujukku.

"Eits! lihat ini jan.... Wollaaaa..!! hahaha", Aris mengeluarkan book keepernya dari tas, ternyata book keeper sudah ditangan, dia sengaja menggodaku. 
"Oke oke, fine.... sial aku dikerjain".
"Makanya skripsi dikerjain, jangan mikirin si siapa itu? Za...Zahra? hahaha".
"Hush ngawur, jangan ikut-ikutan Ris. Gosip itu! sana ngampus katanya mau bimbingan.."

Terlalu banyak motivasi disini, aku rasa ngampus lebih baik. Bukan untuk menghindar hanya saja barangkali inspirasi sedang menungguku disana.



Cerita dalam Diam

"Cieee, Ojan sama si Afifa nih yeee". Kalimat yang mulai terbiasa di telinga Fauzan. Tidak ada yang spesial dengan Afifa Az Zahra, hanya kawan-kawannya yang terlalu sigap ketika menjumpaiku sekadar lewat didepan Afifa. Sedikit saja tanya meluncur dari mulut Afifa untuk Fauzan, langsung kata-kata itu muncul. Meski akan sangat biasa jika si Ratna atau si Imron yang bertanya tapi karena ini seorang Afifa, mahasiswi yang solehah lagi baik perangainya maka semua jadi tampak berbeda. Memang katanya banyak dari golongan Adam yang menyukainya, hanya saja keteguhan akan keimanannya menjadikan dia cuek dengan mereka-mereka yang iseng dan tak bernyali itu. Pun begitu dengan Fauzan sudah terbiasa dengan hal-hal remeh seperti cie-isme yang dianut kawan-kawannya. Bukan waktunya mendistraksi fokusnya dalam berkuliah. Kuliah - kerja - nikah.

"Ehm ehm", terdengar suara yang seakan sudah mengintai sejak tadi. "Apa-apan nih, nulis tentang diri sendiri! Hahaha", tawa Na'im sambil direbutnya selembar kertas cerpen berjudul Cerita Dalam Diam yang belum selesai aku tulis. Ya, aku Fauzan Abdurrahman.

"Wooiii Na'im! sini kembalikan kertasku, belum selesai itu!", kataku. "Ciee Afifa lagi, Afifa lagi.." dia mulai menggoda dengan gaya membacanya yang dibuat entah kenapa terdengar sendu menurutku, mengutip,
"Cerita dalam Diam, by Fauzan Abdurrahman. Memang katanya banyak dari golongan Adam yang menyukainya, hanya saja keteguhan akan keimanannya menjadikan dia cuek dengan mereka-mereka yang iseng dan tak bernyali itu. Pun begitu dengan Fauzan sudah terbiasa dengan hal-hal remeh seperti cie-isme yang dianut kawan-kawannya". 
"Ah yang bener jan? ini mah kamu kan jan kaum Adam itu! hanya si Afifa cuek-cuek saja Hahaha", goda si Na'im.

Kertas berhasil kurebut. "Lebay kamu im... jangan gitu im, ini hanya tulisan kok. Rencananya mau aku ikutkan dalam lomba Cerpen yang kemarin di Republika, kan lumayan nih dapat tambahan uang saku".

"Yaa... siapa tahu, Afifa kan selain sholihah dia juga baik parasnya", Na'im masih memancing-mancing.

Tidak ada yang salah dengan rasa suka. Benar apa yang dikatakan Na'im, Afifa memang demikian.  Demikian juga denganku, memang ada ketertarikan kepada Afifa. Hanya saja aku masih takut, apa yang sebenarnya aku sukai? Sifatnya yang shalihah atau parasnya?. Ah aku kira bukan saatnya memikirkan hal seperti itu, masih teringat kata guru ngajiku Mas Aan, "yang baik ketemu baik, yang buruk ketemu buruk. Lha kamu mau yang mana jan?". Tentu buruk sebenarnya bukan pilihan hanya saja ini bahan renungan tentang bagaimana sesuatu memiliki pilihan yang lebih baik juga lebih buruk, "ketemu yang baik dong mas!" jawabku.  Biar saja aku dimasa depan kelak yang menentukan siapa jodohku meski itu artinya harus dibangun dari sekarang. Dalam hati berusaha menyemangati diri sendiri, "Sukses ya, aku di masa depan! haha :D"